Masa Orde Lama (1959-1965) tercatat sebagai masa paling
gelap dalam sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia. Persiden Sukarno
mencanangkan Konsepsi Presiden yang secara operarional terwujud dalam bentuk
Demokrasi Terpimpin. Demokrasi terpimpin memusatkan seluruh kekuasaan ditangan
Presiden. Para pemimpin nasional Mochtar Lubus, K.H. Isa Anshari, Mr. Assaat,
Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanoeddin Harahap, S.H., M. Yunan nasution,
Buya Hamka, Mr, Kasman Singodimedjo dan K.H E.Z. Muttaqin yang bersikap kritis
terhadap politik Demokrasi terpimpin, ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses
pengadilan. Puncak dari masa penuh kegelapan itu ialah pecahnya peberontakan
berdarah G.30.S/PKI.
Sesudah seluruh kekuatan bangsa yang anti komunis bangkit
menghancurkan pemberontakan tersebut, datanglah zaman baru yang membawa banyak
harapan. Yaitu era Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Pada masa
inilah, para pemimpin bangsa yang dipenjarakan oleh rezim Orde Lama
dibebaskan.
Para pemimpin nasionalis-Islami yang pada dasarnya tidak
dapat duduk berpangku tangan, seperti Mohammad Natsir dan Prawoto Mangkusasmito
mulai merancang gagasan untuk berpartisipasi penuh mendukung pemerintahan Orde
Baru. Pada mulanya mereka mengharapkan pemerintah bersedia merehabilitasi
Partai Politik Masyumi yang dipaksakan
membubarkan diri oleh Presiden Soekarno.
Musyawarah Nasional III Persatuan
Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) menyatakan: “bahwa pembubaran Masyumi, Partai
Sosialis Indonesia (PSI), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yuridis
formal tidak syah, dan yuridis material tidak beralasan”. Namun, pembubaran
Masyumi, ternyata bukanlah masalah hukum semata-mata Pembubaran tersebut adalah
masalah politik. Oleh karena itu ketika permintaan tersebut, oleh berbagai
pertimbangan tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, tokoh-tokoh
nasionalis-Islami itu tidak ngotot, juga tidak berputus harapan.
Bagi mereka, aktivitas hidup ini semata-mata dalam rangka
beribadah dan berdakwah untuk rneraih keridhaan Ilahi. Berkecimpung di lapangan
politik, bagi mereka merupakan bagian dari ibadah dan dakwah. Maka ketika mereka
tidak lagi mendapat kesempatan untuk berkiprah di lapangan politik, jalan
ibadah clan dakwah dalam bentuk lain masih terbuka sangat lebar. Dalam
kata-kata Pak Natsir, dulu berdakwah lewat jalur politik, sekarang berpolitik
melalui jalur dakwah.
Demikianlah, maka pada 26 Februari 1967, atas undangan
pengurus masjid Al-Munawarah, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, para
alim ulama dan zu’ama berkumpul untuk bermusyawarah, membahas, meneliti, dan
menilai beberapa masalah, terutama yang rapat hubungannya dengan usaha
pembangunan umat, juga tentang usaha mempertahankan aqidah di dalam
kesimpangsiuran kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Musyawarah menyimpulkan dua hal sebagai berikut:
Menyatakan rasa syukur atas hasil dan kemajuan yang telah
dicapai hingga kini dalam usaha-usaha dakwah yang secara terus menerus
dilakukan oleh berbagai kalangan umat, yakni para alim ulama dan para muballigh
secara pribadi, serta atas usaha-usaha yang telah dicapai dalam rangka
organisasi dakwah.
Memandang perlu (urgent) lebih ditingkatkan hasil dakwah
hingga taraf yang lebih tinggi sehingga tercipta suatu keselarasan antara
banyaknya tenaga lahir yang dikerahkan dan banyaknya tenaga batin yang
dicurahkan dalam rangka dakwah tersebut.
Untuk menindaklanjuti kesimpulan pada butir kedua di atas,
musyawarah para ulama dan zu’ama mengkonstatir terdapatnya berbagai persoalan,
antara lain:
Mutu dakwah yang di dalamnya tercakup persoalan
penyempurnaan sistem perlengkapan, peralatan, peningkatan teknik komunikasi,
lebih-lebih lagi sangat dirasakan perlunya dalam usaha menghadapi tantangan
(konfrontasi) dari bermacam-macam usaha yang sekarang giat dilancarkan oleh
penganut agama-agama lain dan kepercayaan-kepercayaan (antara lain faham anti
Tuhan yang masih merayap di bawah tanah), Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan
sebagainya terhadap masyarakat Islam.
Planning dan integrasi yang di dalamnya tercakup
persoalan-persoalan yang diawali oleh penelitian (research) dan disusul oleh
pengintegrasian segala unsur dan badan-badan dakwah yang telah ada dalam
masyarakat ke dalam suatu kerja sama yang baik dan berencana.
Dalam menampung masalah-masalah tersebut, yang mengandung
cakupan yang cukup luas dan sifat yang cukup kompleks, maka musyawarah alim
ulama itu memandang perlu membentuk suatu wadah yang kemudian dijelmakan dalam
sebuah Yayasan yang diberi nama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia disingkat
Dewan Dakwah. Pengurus Pusat yayasan ini berkedudukan di ibu kota negara, dan
dimungkinkan memiliki Perwakilan di tiap-tiap ibukota Daerah Tingkat I serta
Pembantu Perwakilan di tiaptiap ibukota Daerah Tingkat II seluruh Indonesia.
Dewan Dakwah yang dikukuhkan keberadaannya melalui Akte
Notaris Syahrim Abdul Manan No. 4, tertanggal 9 Mei 1967, melandaskan
kebijaksanaannya kepada empat hal:
Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia berdasarkan taqwa
dan keridhaan Allah.
Dalam mencapai maksud dan tujuannya, Dewan Dakwah mengadakan
kerja sama yang erat dengan badan-badan dakwah yang telah ada di seluruh
Indonesia.
Dalam hal yang bersifat kontroversial (saling bertentangan)
dan dalam usaha melicinkan jalan dakwah, Dewan Da’wah bersikap menghindari dan
atau mengurangi pertikaian faham antara pendukung dakwah, istimewa dalam
melaksanakan tugas dakwah. Di mana perlu dan dalam keadaan mengizinkan, Dewan Dakwah
dapat tampil mengisi kekosongan, antara lain menciptakan suatu usaha berbentuk
atau bersifat dakwah, usaha mana sebelumnya belum pernah diadakan, seperti
mengadakan pilot projek dalcrm bidang dakwah.
Musyawarah alim ulama juga merumuskan program kerja sebagai
penjabaran dari landasan kebijaksanaan di atas. Program kerja tiga pasal itu
ialah sebagai berikut:
Mengadakan pelatihan-pelatihan atau membantu mengadakan
pelatihan bagi muballighin dan calon-calon muballighin.
Mengadakan research (penelitian) atau membantu mengadakan
penelitian, yang hasilnya dapat segera diinanfaatkan bagi perlengkapan usaha
para muballighin pada umumnya.
Menyebarkan aneka macam penerbitan, antara lain buku-buku,
brosur, dan atau siaran lain yang terutama ditujukan untuk memperlengkapi para
muballighin dengan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan
umum lainnya, guna meningkatkan mutu dan hasil dakwah. Usaha ini diharapkan
dapat mengisi kekosongan-kekosongan di bidang lektur, yang khusus diperlukan
dalam masyarakat.
SEJARAH BERDIRINYA DEWAN DA’WAH ISLAMIYAH INDONESIA JAWA
BARAT
Sekitar setahun setelah berdirinya Dewan Da’wah di Jakarta,
pada tahun 1968/1969 beberapa tokoh Islam di Bandung mengadakan musyawarah
untuk membicarakan masalah pembinaan ummat Islam di Jawa Barat, yang pada
akhirnya sepakat di bentuk Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Perwakilan Jawa
Barat.
Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Perwakilan Jawa
Barat antara lain : KHM. Rusyad Nurdin, KH. Affandi Ridwan, KH. Josep CD, Ating
Alimuddin dan sekaligus menjadi pengurus Dewan Da’wah Perwakilan Jawa Barat
Periode Tahun 1968 sd. 1977.
Sejak tahun 1968
hingga 2002 Ketua Umum Dewan
Da’wah Perwakilan Jawa Barat diemban oleh
KHM. Ruasyad Nurdin (hingga akhir hayat beliau), dan Sekretaris Umum
oleh HM. Daud Gunawan, yang kini menjadi Wk. ketua Umum Dewan Da’wah Jawa
Barat. Tahun 2002 hinggan 2005 Pjs/Ketua
Umum diamanahkan kepada Prof. DR. H. Jusuf Amir Feisal, dan sekarang diemban
oleh KH. E. Bahrul Hayat, MA.***
No comments :