Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, DR. Mohammad
Siddik MA, mengecam kunjungan lima wartawan Indonesia ke “Israel”, penjajah
bumi Palestina. Diketahui kelima wartawan tersebut adalah: Abdul Rakhim (Jawa
Pos), Yustinus Tomi Aryanto (Tempo), James Luhulima (Kompas) dan Margareta
(MetroTV), serta wartawan dari Bisnis Indonesia.
”Kami tidak menyalahkan kunjungan dan wawancara wartawan ke
pemerintahan Israel. Yang kami sesalkan adalah terjebaknya para wartawan
Indonesia ke dalam politisasi Israel,” tutur Siddik kepada wartawan, Selasa
(29/3).
Seperti diketahui, kunjungan para wartawan tersebut diungkap
pertama kali lewat cuitan akun twitter resmi juru bicara Perdana Menteri
@ofirgendelman, Senin (28/3) malam.
Media-media Israel seperti Israel Times pun kemudian
menyiarkan pesan Netanyahu kepada para wartawan dari Indonesia, soal keinginan
Israel menjalin hubungan dengan Indonesia. Publikasi serupa juga disuarakan
media-media nasional di Tanah Air seperti Tempo dan Kompas.
Menurut Siddik, mestinya para wartawan bukan sekadar menjadi
”juru bicara” “Israel” yang sangat ingin membuka hubungan diplomatik dengan
Indonesia.
”Para wartawan, apalagi mereka yang dikatakan sebagai
wartawan senior, mestinya dapat mengkritisi pemerintahan Israel terutama dalam
soal Palestina,” tandasnya.
Ketua Umum Dewan Dakwah mengingatkan, sikap Indonesia
terhadap Israel sejak era Presiden Soekarno hingga kini, sudah jelas.
Salah satu contohnya adalah rencana Israel memberi pengakuan
kedaulatan penuh kepada Indonesia pada 1950.
Saat itu, Bung Hatta hanya menjawab telegram dari Menteri
Luar Negeri Israel Moshe Sharett dengan ucapan terimakasih. Bung Hatta tidak
menerima pengakuan kedaulatan dari Israel.
Bahkan, rencana Israel untuk mengirim misi perdamaian ke
Indonesia ditolak mentah-mentah oleh proklamator kemerdekaan RI itu. Penolakan
itu disampaikan Hatta dalam sebuah surat balasan yang dikirimkannya kepada
Sharett pada Mei 1950.
Sikap keras juga ditunjukan oleh Bung Karno terhadap Israel.
Bung Karno dengan tegas menyebut Israel sebagai penjajah. Bung Karno dengan
tegas mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merebut tanah airnya dari
penguasaan negeri Bintang Daud itu.
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada
orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang
penjajahan Israel,” kata Bung Karno dalam pidatonya pada 1962.
Dalam sidang KTT Luar Biasa OKI (Organisasi Kerjasama Islam)
beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo kembali mempertegas sikap Indonesia
tersebut. Bahkan saat itu Presiden Indonesia juga menyerukan untuk memboikot
semua produk Israel yang dihasilkan dari tanah penjajahan.
Sikap kolonialis Israel ditunjukkan pada 5 Agustus 2012.
Saat itu, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Marty Natalegawa gagal
berkunjung ke Ramallah untuk menghadiri pertemuan tingkat menteri GNB (Gerakan
Non Blok) mengenai Palestina. Pasalnya, Menlu Marty bersama Menlu Malaysia,
Kuna, Aljazair, dan Bangladesh dilarang masuk ke wilayah Ramallah yang hingga
kini masih dikuasai Israel. Akibat penolakan ini, pertemuan GNB akhirnya
dibatalkan.
Peristiwa serupa terjadi bulan lalu kepada pejabat tinggi
Indonesia. Saat itu, Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi tidak mendapat izin terbang melintasi wilayah udara Israel untuk meresmikan kantor Konsul Kehormatan Indonesia untuk Palestina di Ramallah. Sehingga, peresmian Konsul Kehormatan akhirnya dilakukan di Amman, Jordania.
Marsudi tidak mendapat izin terbang melintasi wilayah udara Israel untuk meresmikan kantor Konsul Kehormatan Indonesia untuk Palestina di Ramallah. Sehingga, peresmian Konsul Kehormatan akhirnya dilakukan di Amman, Jordania.
Selanjutnya Mohamad Siddik menegaskan, setidaknya ada empat
dosa besar bila pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Pertama, mengkhianati amanat Pembukaan UUD ’45, yang
menegaskan bahwa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kedua, Israel tidak pernah mau menaati Resolusi Dewan
Keamanan PBB Nomor 242 dan 338. Inti kedua resolusi tersebut adalah meminta
Israel mundur dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam perang tahun 1967.
Ketiga, pembukaan diplomatik juga bertentangan dengan
prinsip-prinsip Gerakan Non-Blok, di mana Indonesia menjadi salah satu
anggotanya.
Keempat, pembukaan hubungan tidak sejalan dengan prinsip
perjuangan OKI, di mana Indonesia salah satu anggotanya. Dalam KTT OKI Ke-6 di
Dakar, Senegal, tahun 1991, misalnya, komunike sidang menegaskan, “Perdamaian
hanya dapat ditegakkan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada
rakyat Palestina dan penarikan tanpa syarat pasukan pendudukan Israel dari
seluruh wilayah Arab yang diduduki, termasuk Al Quds Al-Syarif, Dataran Tinggi
Golan, dan Lebanon Selatan.” Pungkasnya. (Red*)
No comments :